Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

HUKUM GADAI DALAM PERSPEKTIF ISLAM



HUKUM GADAI DALAM PERSPEKTIF ISLAM
A.  Pendahuluan
Istilah gadai, terlalu akrab dalam kehidupan masyarakat kita. Pemerintahpun ikut memfasilitasi masalah gadai ini. Pemerintah membuat lembaga Perum Pegadaian untuk membantu masyarakat yang ingin meminjam uang dengan cara gadai. Gadai adalah penjaminan hutang dengan suatu barang.
Pada makalah ini penulis akan membahas tentang apa dan bagaimana hukum yang berkaitan dengan praktik gadai menurut perspektif Islam.
B.  Pengertian Gadai
Gadai dalam bahasa Indonenesia  memiliki padanan  istilah Ar-rahn yang berarti al tsubut (tetap) dan al-habs (tahanan). Gadai secara istilah bisa diartikan pinjam meminjam uang dengan menyerahkan barang dan dengan batastertentu. Bila telah sampai waktu yang telah ditentukan tidak di tebus,maka barang tersebut menjadi milik orang yang memberi pinjaman. Dalam literature fiqih,gadai (ar-rahn) diartikan dengan:menjadikan barang sebagai jaminan dari hutang,sebagai pengganti jika hutang tersebut tidak bisa di bayar. (Fitryy.wordpress) 
 Menurut Imam Abu zakaria Al-anshari dalam kitabnya Fathul wahab mendefinisikan rahn sbg berikut:menjadikan barang yang bersifat harta sebagai kepercayaan dari suatu hutang yang dapat di bayarkan dari harta benda itubila hutang tidak di bayar.
 Sedangkan definisi rahn menurut Imam Taqiyyudin Abu bakar Al- husaini dalam kitabnya Kifayatul Ahyar fii halli ghayati al- ikhtisar berpendapat bahwa  rahn adalah akad atau perjanjian utang-piutang dengan menjadikan harta sebagai kepercayaan atau penguat hutang dan yang memberi pinjaman berhak  menjual barang yang di gadaikan itu pada saat ia menuntut haknya.
C.  Landasan Disyariatkannya Gadai
Gadai diperbolehkan dalam agama Islam baik dalam keadaan safar maupun mukim. Hal ini berdasarkan dalil Al-Qur’an, Al-Hadits dan Ijma’ (konsensus) para ulama. Di antaranya:
1. Al-Qur’an:
وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).” (QS. Al-Baqarah: 283)
 menyebutkan “barang
IDi dalam ayat tersebut, secara eksplisit Allah  tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)”. Dalam dunia finansial, barang tanggungan biasa dikenal sebagai jaminan atau obyek pegadaian.
2. Al-Hadits:
a. عَنْ عَائِشَةَ – رضى الله عنها – أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِىٍّ إِلَى أَجَلٍ ، وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ
Aisyah Radhiyallahu ‘Anha berkata: “Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan tempo (kredit) dan beliau menggadaikan kepadanya baju besi.” (HR Bukhari II/729 (no.1962) dalam kitab Al-Buyu’, dan Muslim III/1226 (no. 1603) dalam kitab Al-Musaqat).
b.
عَنْ أَنَسٍ – رضى الله عنه – قال : لَقَدْ رَهَنَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – دِرْعًا لَهُ بِالْمَدِينَةِ عِنْدَ يَهُودِىٍّ ، وَأَخَذَ مِنْهُ شَعِيرًا لأَهْلِهِ
Anas Radhiyallahu ‘Anhu berkata: “Sesungguhnya Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah menggadaikan baju besinya di Madinah kepada orang Yahudi, sementara Beliau mengambil gandum dari orang tersebut untuk memenuhi kebutuhan keluarga Beliau.” (HR. Bukhari II/729 (no. 1963) dalam kitab Al-Buyu’).
4. Ijma’ (konsensus) para ulama
Para ulama telah bersepakat akan diperbolehkannya gadai (ar-rahn), meskipun sebagian mereka bersilang pendapat bila gadai itu dilakukan dalam keadaan mukim.(6) Akan tetapi, pendapat yang lebih rajih (kuat) ialah bolehnya melakukan gadai dalam dua keadaan tersebut. Sebab riwayat Aisyah dan Anas radhiyallahu ‘anhuma di atas jelas menunjukkan bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan muamalah gadai di Madinah dan beliau tidak dalam kondisi safar, tetapi sedang mukim.
http://abufawaz.wordpress.com
D.  Rukun Gadai
Dalam praktik gadai, ada beberapa rukun yang perlu dipenuhi, yaitu;
1. Aqid (orang yang berakad) yaitu rahin (yang menggadaikan) dan murtahin (yang menerima gadai)
2. Marhun (barang yang dijadikan jaminan)
3. Marhun bih (Utang)
 4. Shighat (ijab kabul)
E. Syarat Gadai
1. Aqid
Kedua aqid yaitu rahin dan murtahin harus memenuhi kriteria al-aliyah. Menurut ulama Syafi’iyah, ahliyah adalah orang yang telah sah dalam jual beli yakni berakal dan mumayyiz, tetapi tidak disyaratkan harus baligh.
Dengan demikian anak kecil yang sudah mumayyiz dan orang yang bodoh berdasarkan izin dari walinya dibolehkan melakukan rahn.
Menurut ulama Hanafiyah, ahliyah dalam rahn seperti pengertian ahliyah dalam jual beli dan derma. Rahn tidak boleh dilakukan oleh orang yang mabuk, gila, bodoh atau anak kecil yang belum baligh.
Begitu pula seorang wali tidak boleh menggadaikan barang orang yang dikuasainya kecuali jika dalam keadaan madarat dan meyakini bahwa pemegangnya dapat dipercaya.
2. Marhun (borg)
Marhun adalah barang yang dijadikan jaminan oleh rahn. Para ulama fiqih sepakat mensyaratkan marhun sebagaimana persyaratan barang dalam jual beli sehingga barang tersebut dapat dijual untuk memenuhi hak murtahin.
Ulama Hanafiyah mensyaratkan marhun antara lain :
a. . Dapat diperjualbelikan
b. Bermanfaat
c. Jelas
d. Milik rahin
e. Tidak bersatu dengan harta lain
f. Dipegang (dikuasai) oleh rahin
g. Harta yang tetap atau dapat dipindahkan
3. Marhun bih (utang)
Marhun bih adalah hak yang diberikan ketika rahn. Ulama Hanafiyah memberikan beberapa syarat yaitu :
a. Marhun bih hendaklah barang yang wajib diserahkan
Menurut ulama selain Hanafiyah, marhun bih hendaklah berupa utang yang wajib diberikan kepada orang yang menggadaikan barang, baik berupa uang ataupun berbentuk benda.
b. Marhun bih memungkinkan dapat dibayarkan
Jika marhun bih tidak dapat dibayarkan, rahn menjadi tidak sah sebab menyalahi maksud dan tujuan dari disyariatkannya rahn.
c. Hak atas marhun bih harus jelas
Dengan demikian, tidak boleh memberikan 2 marhun bih tanpa dijelaskan utang mana menjadi rahn.
Ulama Hanabilah dan Syafi’iyah memberikan 3 syarat bagi marhun bih :
a. Berupa utang yang tetap dan dapat dimanfaatkan
b. Utang harus lazim pada waktu akad
c. Utang harus jelas dan diketahui oleh rahin dan murtahin
4. Shighat
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa sighat dalam bahwa shighat dalam rahn tidak boleh memakai syarat atau dikaitkan dengan sesuatu. Hal ini karena rahn itu jual beli, jika memakai syarat tertentu, syarat tersebut batal dan rahn tetap sah.
Adapun menurut ulama selain Hanafiyah, syarat dalam rahn ada yang shahih dan ada yang rusak. Uraiannya sebagai berikut :
a. Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa syarat dalam rahn ada 3 :
1) Syarat shahih, seperti mensyaratkan agar rahin cepat membayar sehingga jaminan tidak disita
2) Mensyaratkan sesuatu yang tidak bermanfaat, seperti mensyaratkan agar hewan yang dijadikan jaminannya diberi makanan tertentu. Syarat seperti itu batal tetapi akadnya sah
3) Syarat yang merusak akad, seperti mensyaratkan sesuatu yang akan merugikan murtahin.
b. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa syarat rahn terbagi 2 yaitu rahn shahih dan rahn fasid. Rahn fasid adalah rahn yang di dalamnya mengandung persyaratan yang tidak sesuai dengan kebutuhan atau dipalingkan pada sesuatu yang haram, seperti mensyaratkan barang harus berada di bawah tanggung jawab rahin.
c. Ulama Hanabilah berpendapat seperti pendapat ulama Malikiyah di atas, yakni rahn terbagi, shahih dan fasid. Rahn shahih adalah rahn yang mengandung unsur kemaslahatan dan sesuai dengan kebutuhan.
F

F. F. Penutup
           

Dari penjelasan di atas penulis menyimpulkan,ada beberapa rukun dalam gadai di antaranya: aqid (orang yang berakad) antara rahin(orang yang menggadaikan) dan murtahin(orang yang menerima gadai),marhun(barang yang di gadaikan),marhun bih(utang),shighot(ijab qabul).untuk hukum gadai Mayoritas ulama berpendapat bahwa gadai itu dibolehkan, baik pada waktu tidak bepergian dan waktu bepergian, baik ada penulisnya atau tidak ada. Sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw yang menggadaikan baju besinya kepada orang Yahudi di Madinah. Sebagai mana hadits Rosulullah Saw.

Daftar Bacaan
Chuzaimah T.yanggo dan Anshari AZ,Hafiz. 1997. Problematika Hukum islam  kontemporer (buku ketiga) Jakarta: pustaka firdaus
-Fitryy.wordpress
 -Abufawaz.wordpress

Post a Comment for "HUKUM GADAI DALAM PERSPEKTIF ISLAM"