ONTOLOGI ISLAM
ONTOLOGI
ISLAM
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Secara garis besar filsafat
mempunyai tiga cabang besar, yaitu: Epistemologi,
ontologi dan aksiologi. Epistemologi adalah
teori pengetahuan yang membicarakan cara memperoleh pengetahuan.
Ontologi adalah teori hakikat yang membicarakan pengetahuan itu sendiri.
Axiologi yaitu teori nilai yang membicarakan manfaat pengetahuan itu.
Persoalan ontologi sebagai salah satu
cabang dari filsafat yang ingin mencari dan menemukan hakikat dari suatu yang
ada adalah merupakan persoalan filsafat
yang paling tua
Bermula karena kehidupan manusia
dilahirkan dari berada dalam lingkungan yang ada sebelumnya tanpa campur tangan
sedikitpun darinya. Oleh karenanya, ia serta merta berhadapan dengan
kenyataan-kenyataan lain di luar dirinya. Kenyataan-kenyataan itu tidak
tergantung padanya, dan mempunyai mekanismenya sendiri, di luar
kecenderungan-kecenderungan dirinya.
Sejalan dengan pemikirannya, usaha
pencarian terhadap hakikat sesuatu yang ada (ontologi) akan memberikan makna
terhadap kehidupannya sendiri, yang hanya dapat berlangsung di tengah-tengah
komunikasi dan interaksi yang kompleks dengan berbagai ada, yang ada dalam
kehidupannya itu.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah
tersebut, dapat penulis rumuskan permasalahan ini sebagai berikut:
1. Bagaimanakah
usaha pencarian terhadap hakikat sesuatu yang ada (ontologi).
2. Apakah
hakikat yang ada (ontologi) akan memberikan makna terhadap kehidupannya sendiri
di tengah-tengah komunikasi dan interaksi yang kompleks dengan berbagai ada,
yang ada dalam kehidupannya itu.
C. Tujuan Pembahasan
Pembahasan ini bertujuan untuk:
1. Memahami
hakikat ada menurut teori ontologi Islam.
2. Memahami
hakikat yang ada agar seseorang dapat menempatkan dirinya pada posisi yang
tepat dalam mewujudkan hubungan komunikasi dan interaksi dengan yang ada di
sekitarnya, sehingga dapat berjalan secara lebih baik.
II.
HAKIKAT ADA
A.
Yang
Ada (being)
Menurut pengalaman kehidupan, tidak ada
yang ada secara sendiri. Demikian pula halnya, tidak ada yang ada secara
kebetulan. Karena yang disebut kebetulan itu pada dasarnya ada oleh adanya
proses yang ada di luar dirinya yang tidak ia ketahui, sehingga ia mengatakan
ada itu, ada secara kebetulan. Proses yang berjalan dalam mekanisme hokum-hukum
kehidupan, bisa juga disebut hukum alam. Oleh karena itu, tidak ada yang ada
dan yang mengdakan berada dalam satu ada. Dengan kata lain, tidak ada pencipta
dan ciptaan, sebab dan akibat menyatu dalam ada yang satu dan berada dalam
ruang dan waktu yang satu pula.
Berdasarkan pandangan itu, maka pada
prinsipnya ada dua ada, yaitu ‘ada’
yang menciptakan dan ‘ada’ yang
diciptakan, ada yang menyebabkan dan ada yang diakibatkan. Ada yang
menciptakan tidak sepenuhnya tepat untuk disebut sebagai sebab yang ada, karena
hukum sebab akibat berlainan dengan hukum yang menciptakan dan yang diciptakan.
Hukum sebab akibat bias bersifat fisik, mekanis, berdimensi material, sementara
pencipta dan ciptaan didalamnya selalu terkandung dimensi ideal, yang bersifat
spiritual.
Persoalan
muncul ketika terjadi konflik antara berbagai yang ada, terutama antara ada
yang bersandar pada Tuhan (Ilahi) dengan yang bersandar pada manusia (yang
manusiawi).
Dalam konsep filsafat Islam, dengan
pendekatan yang rasional transcendental, maka konflik-konflik itu adalah wajar
sebagai wujud ketegangan eksistensi manusia berhadapan dengan eksistensi Ilahi,
dan manusia pasti tidak bisa menghancurkan eksistensi Ilahi.
Visi rasional transcendental menegaskan
bahwa pada hakikatnya otoritas manusia (kultur) terhadap alam (natur) tidaklah
mutlak, karena manusia sama sekali tidak terlibat dalam penciptaan alam, bahkan
pada satu sisi fisik manusia menjadi bagian dari alam. Maka merusak alam dapat
dipandang sebagai tindakan merusak dirinya sendiri. Seperti dijelaskan dalam Al
Quran (QS 30:41)
tygsß
ß$|¡xÿø9$#
Îû
Îhy9ø9$#
Ìóst7ø9$#ur $yJÎ/
ôMt6|¡x. Ï÷r&
Ĩ$¨Z9$# Nßgs)ÉãÏ9 uÙ÷èt/ Ï%©!$#
(#qè=ÏHxå
öNßg¯=yès9 tbqãèÅ_öt
ÇÍÊÈ
41. Telah nampak
kerusakan di darat dan di laut disebabkan Karena perbuatan tangan manusi, supay
Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar
mereka kembali (ke jalan yang benar).
B. Yang Nyata (realitas)
Yang
nyata, kenyataan adalah bagian dari yang ada, yaitu ada yang faktual, yang
berupa fakta-fakta dalam kehidupan, sifatnya dinamik, dan dinamikanya
dipengaruhi oleh proses dialektika kehidupan manusia yang kompleks, yang
terjadi dan berlangsung dalam berbagai aspek kehidupannya, sosial, politik,
ekonomi, budaya dan agama.
Yang nyata (realitas) selalu berdimensi ruang dan
waktu, karenanya selalu mengandung pluralitas dan relativitas.
Hakikat realitas adalah immateri yang memateri,
suatu spiritualitas yang faktual. Spiritualitasnya terletak pada adanya
dinamika dan perubahan, yang dipengaruhi sepenuhnya oleh konteks kehidupan
manusia itu sendiri. Faktualnya adalah fakta-fakta empirik yang meruang waktu,
yang satu keadaan dengan keadaan lainnya berbeda-beda, beruba-ubah sesuai
dengan tuntutan konteks dan jaman, sifatnya sangat terbatas, baik dalam kaitan
dengan tempat ataupun waktu, yang nyata secara factual tidak pernah menjadi
keabadian.
Filsafat Islam memandang realitas pada hakikatnya
adalah spiritual. Hakikat spiritual dari realitas terdapat pada adanya dinamika
dan perubahan yang secara kodrati selalu terjadi dan akan terus terjadi, dan
merupakan suatu sunnatullah yang tidak akan pernah berubah. Dalam Al Quran (QS
30;32 ) dijelaskan:
z`ÏB úïÏ%©!$# (#qè%§sù öNßguZÏ (#qçR%2ur $YèuÏ© ( @ä. ¥>÷Ïm $yJÎ/ öNÍköys9 tbqãmÌsù ÇÌËÈ
32. Yaitu orang-orang yang memecah-belah agama
mereka[1169] dan mereka menjadi beberapa golongan. tiap-tiap golongan merasa
bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.
C. Esensi dan Eksistensi
Dalam setiap yang ada, baik yang nyata
maupun yang tidak nyata, selalu ada dua sisi di dalamnya, yaitu sisi esensi dan
sisi eksistensi. Bagi ada yang gaib, sisi yang Nampak adalah eksistensi,
sedangkan bagi ada yang konkret, sisi yang Nampak bias kedua-duanya, yaitu
esensi dan eksistensi.
Dalam kehidupan manusia, yang penting
adalah eksistensinya. Seperti halnya kayu akan lebih bermakna ketika
eksistensinya sebagai meja, kursi, dan yang sejenisnya. Eksistensi lebih
berorientasi pada kemasakinian dan kemasadepanan, sedangkan esensi adalah
kemasalaluan, bahkan data suatu kebudayaan. Eksistensi mendahului esensi.
Filsafat Islam memandang pentingnya
tindakan (amal saleh) daripada gagasan spekulatif. Persoalan esensi dipandang
selesai , karena pada hakikatnya esensi akan kembali dan berpusat pada Allah.
Karena Allah yang menciptakan segala sesuatu yang ada dalam kehidupan ini.
Persoalannya justru tidak terletak pada esensi, tetapi pada eksistensi. Islam
menawarkan gagasan perlunya eksistensi berada dalam keseimbangan dan
keselarasan kosmik, sehingga kebudayaan sebagai wujud eksistensi manusia berada
dalam keselarasan dan keseimbagan dengan hukum-hukum alam, hukum akal sehat,
dan hukum agama (spiritualitas dan moralitas universal). Dalam tahap ini
kebudayaan sebagai wujud tanggungjawabnya untuk menciptakan kesejahteraan dan
kebahagiaan bersama, sehingga kebudayaan bergerak kedataran transcendental
sebagi wujud peribadatan kepada Tuhannya, seperti kendaraan yang
mengantarkannya kepada tujuan.
Al Quran (QS 67:1-2) dinyatakan:
x8t»t6s? Ï%©!$#
ÍnÏuÎ/ à7ù=ßJø9$# uqèdur 4n?tã Èe@ä.
&äóÓx« íÏs%
ÇÊÈ
Ï%©!$#
t,n=y{ |NöqyJø9$# no4quptø:$#ur öNä.uqè=ö7uÏ9 ö/ä3r& ß`|¡ômr& WxuKtã 4
uqèdur âÍyèø9$#
âqàÿtóø9$#
ÇËÈ
1. Maha Suci Allah yang di tangan-Nyalah segala
kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu,
2.
Yang menjadikan mati dan hidup, supaya dia menguji kamu, siapa di antara
kamu yang lebih baik amalnya. dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun,
D. Hakikat Kemajemukan
(Pluralitas)
Pluralistas pada hakikatnya merupakan
realitas kehidupan itu sendiri, yang tidak bisa dihindari apa lagi ditolak.
Meskipun seringkali manusia terjebak dalam kecenderungan untuk menolaknya,
karena pluralitas dianggap sebagai suatu ancaman terhadap eksistensinya sendiri
atau eksistensi komunitasnya, seperti terlihat dalam konflik-konflik social
politik yang melibatkan kelompok etnis, atau agama tertentu. Penolakan terhadap
pluralitas sama artinya dengan menolak kehidupan itu sendiri, karena pluralitas
pada hakikatnya merupakan kodrat dari kehidupan yang tidak mungkin ditiadakan,
dan karenanya tidak pernah ditemukan dalam kehidupan ini, dan hal yang sama
persis dari berbagai sisi dan aspeknya.
Dalam konsep filsafat Islam, konflik dan
ketegangan plutakitas pada hakikatnya sesuatu yang alamiah dan wajar saja.
Setiap konflik harus disikapi dengan bijak, sehingga dapat dikembangkan untuk
mencari bentuk-bentuk sintetik yang baru, sebagaimana yang terjadi dalam
mekanisme alam. Dimana konflik menjadi basis pertumbuhan untuk memunculkan
bentuk-bentuk kehidupan yang baru yang lebih baik. Persoalannya adalah
bagaimana konflik-konflik pluralitas itu tetap berjalan secara konstruktif,
sebagai bagian dari proses pertumbuhan dan kemajuan. Al Quran Az Zumar (39:18)
menyatakan:
tûïÏ%©!$#
tbqãèÏJtFó¡o
tAöqs)ø9$# tbqãèÎ6Fusù
ÿ¼çmuZ|¡ômr& 4
y7Í´¯»s9'ré& tûïÏ%©!$#
ãNßg1yyd
ª!$# (
y7Í´¯»s9'ré&ur
öNèd (#qä9'ré&
É=»t7ø9F{$#
ÇÊÑÈ
18. Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti
apa yang paling baik di antaranya. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi
Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal.
E. Hakikat Perubahan
Tidak ada yang abadi dalam kehidupan di
dunia ini, kecuali perubahan itu sendiri. Perubahan dalam kehidupan manusia
tidak hanya menyentuh dimensi fisiknya, tetapi juga nonfisik, seperti emosi,
pemikiran dan keyakinan.
Berkaitan dengan kehidupan alam,
perubahan terus berjalan, ada yang beraturan dan terkendali dalam mekanisme hukum
alam, seperti pergantian siang dan malam dan sebagainya. Perubahan juga terjadi
tidak beraturan karena bertabrakan dengan faktor-faktor eksternal, yaitu
perbuatan manusia, seperti berkurangnya bahan minyak bumi yang terus dikuras
manusia.
Filsafat Islam memandang perubahan
kehidupan kesemestaan itu pada hakikatnya merupakan sunatullah yang mekanismenya
terkendali dalam hukum-hukum alam yang ditetapkan sejak proses penciptaan itu
terjadi. Sedangkan perubahan yang terjadi pada eksistensi manusia, dalam proses
kebudayaan, sepenuhnya menjadi tanggungjawab manusia sendiri. Karena persoalan
kebudayaan sesungguhnya persoalan manusia, yang menempatkan manusia sebagai
penciptanya dan sekaligus tuntutan untuk menyelesaikannya sendiri. Manusia
sudah dibekali kemampuan untuk mengatasi persoalan secara internal yang
berkaitan dengan kemampuan berpikir menyusun konsep-konsep, maupun eksternal
yaitu alam semester yang menyediakan bahan dan kitab suci sebagai rujukan
moralitas dan spiritualitas. Dalam Al Quran,
Ali Imran (QS 3:140) menyatakan:
bÎ) öNä3ó¡|¡ôJt Óyös% ôs)sù ¡§tB tPöqs)ø9$# Óyös% ¼ã&é#÷VÏiB 4
y7ù=Ï?ur ãP$F{$#
$ygä9Ír#yçR tû÷üt/ Ĩ$¨Y9$# zNn=÷èuÏ9ur ª!$# úïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä xÏGtur öNä3ZÏB
uä!#ypkà 3
ª!$#ur w =Ïtä tûüÉKÎ=»©à9$#
ÇÊÍÉÈ
140. Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka,
Maka Sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang
serupa. dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu kami pergilirkan diantara
manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan
orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) supaya sebagian kamu
dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada'[231]. dan Allah tidak menyukai
orang-orang yang zalim,
III.
KESIMPULAN
Filsafat
Islam telah memberikan kontribusinya dalam diskusi tentang hakikat ada, dalam
kehidupan dengan sangat berimbang. Dengan memahami hakikat yang ada menurut
filsafat Islam, seseorang dapat menempatkan dirinya pada posisi yang tepat
dalam mewujudkan hubungan komunikasi dan interaksi dengan yang ada di
sekitarnya, sehingga dapat berjalan secara lebih baik.
Post a Comment for "ONTOLOGI ISLAM"