Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Ontologi Islam

Siti Patayat, Menggapai Bulan
Ontologi Islam
Secara garis besar filsafat mempunyai tiga cabang besar, yaitu: Epistemologi, ontologi dan aksiologi. Epistemologi adalah teori pengetahuan yang membicarakan cara memperoleh pengetahuan. Ontologi adalah teori hakikat yang membicarakan pengetahuan itu sendiri. Axiologi yaitu teori nilai yang membicarakan manfaat pengetahuan itu. Persoalan ontologi sebagai salah satu cabang dari filsafat yang ingin mencari dan menemukan hakikat dari suatu yang ada adalah merupakan persoalan filsafat yang paling tua. Bermula karena kehidupan manusia dilahirkan dari berada dalam lingkungan yang ada sebelumnya tanpa campur tangan sedikitpun darinya. Oleh karenanya, ia serta merta berhadapan dengan kenyataan-kenyataan lain di luar dirinya. Kenyataan-kenyataan itu tidak tergantung padanya, dan mempunyai mekanismenya sendiri, di luar kecenderungan-kecenderungan dirinya. Sejalan dengan pemikirannya, usaha pencarian terhadap hakikat sesuatu yang ada (ontologi) akan memberikan makna terhadap kehidupannya sendiri, yang hanya dapat berlangsung di tengah-tengah komunikasi dan interaksi yang kompleks dengan berbagai ada, yang ada dalam kehidupannya itu. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, dapat penulis rumuskan permasalahan ini sebagai berikut: Bagaimanakah usaha pencarian terhadap hakikat sesuatu yang ada (ontologi). 1. Yang Ada (being) Menurut pengalaman kehidupan, tidak ada yang ada secara sendiri. Demikian pula halnya, tidak ada yang ada secara kebetulan. Karena yang disebut kebetulan itu pada dasarnya ada oleh adanya proses yang ada di luar dirinya yang tidak ia ketahui, sehingga ia mengatakan ada itu, ada secara kebetulan. Proses yang berjalan dalam mekanisme hokum-hukum kehidupan, bisa juga disebut hukum alam. Oleh karena itu, tidak ada yang ada dan yang mengdakan berada dalam satu ada. Dengan kata lain, tidak ada pencipta dan ciptaan, sebab dan akibat menyatu dalam ada yang satu dan berada dalam ruang dan waktu yang satu pula. Berdasarkan pandangan itu, maka pada prinsipnya ada dua ada, yaitu ‘ada’ yang menciptakan dan ‘ada’ yang diciptakan, ada yang menyebabkan dan ada yang diakibatkan. Ada yang menciptakan tidak sepenuhnya tepat untuk disebut sebagai sebab yang ada, karena hukum sebab akibat berlainan dengan hukum yang menciptakan dan yang diciptakan. Hukum sebab akibat bias bersifat fisik, mekanis, berdimensi material, sementara pencipta dan ciptaan didalamnya selalu terkandung dimensi ideal, yang bersifat spiritual. Persoalan muncul ketika terjadi konflik antara berbagai yang ada, terutama antara ada yang bersandar pada Tuhan (Ilahi) dengan yang bersandar pada manusia (yang manusiawi). Dalam konsep filsafat Islam, dengan pendekatan yang rasional transcendental, maka konflik-konflik itu adalah wajar sebagai wujud ketegangan eksistensi manusia berhadapan dengan eksistensi Ilahi, dan manusia pasti tidak bisa menghancurkan eksistensi Ilahi. Visi rasional transcendental menegaskan bahwa pada hakikatnya otoritas manusia (kultur) terhadap alam (natur) tidaklah mutlak, karena manusia sama sekali tidak terlibat dalam penciptaan alam, bahkan pada satu sisi fisik manusia menjadi bagian dari alam. Maka merusak alam dapat dipandang sebagai tindakan merusak dirinya sendiri. Seperti dijelaskan dalam Al Quran (QS 30:41)         ••        41. Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan Karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).

Pages: 1 2 3

Post a Comment for "Ontologi Islam"