Perspektif Islam Terhadap Waria (2)
Menggapai Bulan, Siti Patayat
Perspektif
Islam Terhadap Waria (2)
Tulisan berikut adalah lanjutan
dari tulisan sebelumnya, dengan judul yang sama, yakni: Perspektif Islam
Terhadap Waria
A. Persfektif Islam Terhadap Waria
Imam
al Kasani menjelaskan tentang hukum khuntsa (waria) dengan mengatakan bahwa
waria adalah orang yang memiliki alat kelamin laki-laki dan wanita, padahal
tidak mungkin dalam diri seseorang mempunyai kepribadian laki-laki sekaligus
wanita sesungguhnya. Akan tetapi, bisa jadi ia seorang laki-laki atau wanita.
Adapun
penjelasan untuk mengetahui apakah dia seorang laki-laki atau wanita maka bisa
melalui tanda-tandanya. Diantara tanda-tanda laki-laki setelah baligh adalah
tumbuh jenggot. Sedangkan tanda-tanda wanita setelah dewasa adalah tumbuhnya
payudara, mengeluarkan susu dari payudara itu, haid dan melahirkan. Hal itu
dikarenakan setiap jenis dari yang disebutkan di atas memiliki kekhasan baik
pada laki-laki maupun wanita yang memisahkan antara keduanya.
Adapun
tanda-tanda pada saat masih anak-anak, maka dilihat pada tempat buang air
seninya, berdasarkan hadits Rasulullah saw,”Waria dilihat dari tempat buang air
seninya.” Apabila dia buang air seninya keluar dari alat kelamin laki-laki maka
dia adalah laki-laki dan apabila dia keluar dari alat kalamin wanitanya maka ia
adalah seorang wanita. Dan apabila air seninya keluar dari kedua-duanya maka
lihat dari mana yang lebih dahulu keluar, karena tempat yang lebih dahulu
mengeluarkan air seni itu adalah tempat keluar yang asli sedangkan keluar dari
tempat yang lainnya adalah tanda kelainan.
Jika
ternyata air seninya keluar secara bersamaan dari kedua tempat itu maka Abu
Hanifah pun tidak memberikan komentar. Dia hanya mengatakan bahwa orang itu
adalah khuntsa musykil (waria yang sulit dikenali jenis kelaminnya), inilah
kecerdasan fiqih Abu Hanifah karena diam terhadap suatu hal yang tidak ada
dalilnya adalah suatu kewajiban.
Abu
Yusuf dan Muhammad mengatakan—dalam hal diatas—ditentukan dari banyaknya air
seni, karena hal itu menujukkan tempat keluarnya yang asli. Dan tatkala
pendapat ini didengar oleh Abu Hanifah maka dia tidak bisa menerimanya dan
mengatakan, ”Apakah engkau pernah melihat seorang hakim yang menimbang air
seni.” Kedua orang itu pun terdiam dan mengatakan, ”Kalau begitu dia adalah
waria yang sulit dikenali jenis kelaminnya.” (Bada’iush Shona’i juz XVII hal
124 – 125)
Adapun
terhadap seorang laki-laki yang memiliki organ-organnya yang lengkap kemudian
memiliki kecenderungan kepada sifat kewanitaan maka ini adalah perangai
kejiwaan yang tidak memindahkannya kepada seorang wanita yang sebenarnya.
Namun
terkadang, kecenderungan itu adalah hanya karena kemauan atau buatan sendiri
melalui cara meniru-niru, maka hal yang seperti itu akan jatuh kedalam hadits
Rasulullah saw yang melaknat orang yang memiliki jenis kelamin tertentu
kemudian meniru-niru orang yang memiliki jenis kelamin lainnya..
Namun
kecenderungan itu adakalanya merupakan suatu keterpaksaan (bukan dikarenakan
pilihannya). Terhadap orang tersebut dianjurkan untuk berobat semampunya karena
terkadang pengobatan berjalan sukses tetapi adakalanya gagal, maka serahkanlah
semuanya kepada kehendak Allah swt.
Begitupula
sebaliknya bagi wanita yang memiliki organ-organnya yang lengkap kemudian
memiliki kecenderungan kepada sifat kelaki-lakian maka ini adalah perangai
kejiwaan yang tidak memindahkannya kepada seorang laki-laki yang sebenarnya.
Apabila
hal itu adalah dikarenakan kemauan dan buatannya maka ia berada dalam ancaman
hadits diatas namun apabila itu sebuah keterpaksaan maka diharuskan baginya
untuk berobat.
Diperbolehkan
baginya untuk melakukan operasi pemindahan kelamin dari laki-laki menjadi
wanita atau dari wanita menjadi laki-laki berdasarkan pemeriksaan dokter yang
bisa dipercaya dan dikarenakan adanya perubahan-perubahan fisik dalam tubuh
yang ditunjukkan dengan tanda-tanda kewanitaan atau tanda-tanda kelaki-lakian
yang tertutupi (tidak tampak). Pengobatan di sini haruslah dengan alasan
penyembuhan tubuh yang tidak bisa dihilangkan kecuali dengan jalan operasi.
Akan
tetapi, jika operasi yang dilakukan hanya sebatas untuk keinginan (kesenangan)
merubahnya dan bukan karena adanya perubahan-perubahan fisik yang jelas lagi
dominan maka hal itu tidak diperbolehkan. Dan jika ia tetap melakukannya maka
orang itu akan termasuk kedalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dari Anas
berkata,”Rasulullah saw melaknat orang laki-laki yang berperangai perempuan dan
orang perempuan yang berperangai laki-laki.’ Dan berkata,’Keluarkan mereka dari
rumah-rumah kalian.” Maka Nabi saw pun mengeluarkan fulan begitu juga Umar
mengeluarkan fulan. (Fatawa Al Azhar juz IX hal 478).
Post a Comment for "Perspektif Islam Terhadap Waria (2)"